Bismillahirrohmanirrohim...
Bis Solo-Semarang, perjalanan Pulang.
“.....Lestari alamku, lestari desaku, dimana Tuhanku menitipkan aku, nyanyi bocah bocah dikala purnama, nyanyikan pujaan untuk nusa. Damai saudaraku, suburlah bumiku, kuingat ibuku dongengkan cerita, kisah tentang jaya nusantara lama, tentram karta raharja disana....”
Lantunan lagu balada yang diputar oleh sopir bis Solo-Semarang ini meningkahi perjalananku pulang ke Semarang. Seolah bait demi baitnya mengajakku berpikir-setelah semalaman puas terlantar di terminal-bahwa memang tanah ini terlampau indah untuk tidak dicintai, dan terlampau bernilai untuk disia siakan....
Perjalanku kali ini diawali dengan sejuta asa tentang kembali kepada pelukan ibu pertiwi, tentang bagaimana kau kembali mencintai negeri, bagaimana kau kembali merengkuh asa akan negeri ini. maka aku memutuskan untuk bergabung dengan rombongan kecil tapi santai dan berisi 4 orang aneh yang ingin pergi ke gunung Lawu. Menikmati keindahan alam, dan guratan maha Indah dari Sang Pemilik Jagad Raya.
Siang itu, setelah usai kami berempat berkemas,
kami bertolak dari tembalang, Semarang, menuju Solo. menaiki bus
ekonomi, berdesakan, maklum saat itu adalah menjelang tahun baru. Kami
singgah sejenak di salatiga untuk solat jum’at sebelum kemudian
berlanjut ke solo. berempat kami tertawa lepas, menikmati perjalanan dan
menikmati setiap desakan desakan penumpang, menikmati lagu lagu
pengamen yang memaksa naik di kepadatan penumpang.
Tirtonadi, disini kami kemudian bertemu rombongan lain dari Jogja, yang juga ingin mendaki gunung Lawu. Aku pun makin semangat melihat pemuda pemuda cerah yang akan mendaki juga.
Sampailah kami berempat di tawangmangu. Segera saja kami mencari masjid untuk solat Ashar, menghadap Yang Maha Penyayang, yang menitipkan negeri seindah ini pada kami.
Ah, ternyata perutku lapar juga. Seusai solat kami berempat menyusuri pasar tawangmangu, mencari makanan yang bisa menahan garangnya enzim enzim perutku yang mulai memberontak. Ketemulah dengan soto dan nasi kare. Semangkuk soto dibandrol harga Rp 3000 saja, sedangkan kare seharga Rp 3500. Wah, sudah murah, enak! Tandas sudah dua mangkuk nasi kare masuk ke dalam perutku. Hahahaha.
Perjalananpun dilanjutkan menumpang colt diesel. Jalan makin menanjak dengan pemandangan yang sungguh luar biasa, di kanan kiri barisan kebun teh dan pohon cemara berwarna hijau tua. Rumah rumah penduduk yang bersusun susun berjauhan. Sedangkan di atas bukit yang jauh kabut mulai berarak turun, putih bersih, seputih hati penduduk desa yang berkemul dengan sarung di sepanjang jalan.
Maghrib menjelang ketika kami tiba di posko pendakian cemoro sewu, magetan. Suhu dingin mulai menusuk kulit. Angin bertiup cukup kencang. Memaksa kami memakai jaket tebal untuk melawan suhu dingin. Kembali kami terdampar di masjid, singgah dan kembali tunduk dihadapan-Nya.
Benar kata temanku, bahwa di gunung, orang bisa bercerita apapun, tentang dirinya, tentang segala keluh kesahnya. Bahwa manusia, dibawah kegagahan alam, akan merasa kerdil dan kemudian ceritapun mengalir. Sebelum tidur, ada sesi curhat dari temenku. Hehehehehe. Didalam warung yang hangat, ditemani secangkir kopi hitam kami berbicara dan bercerita. Ceritanya tentang apa? Rahasia dong, kekekekekekek.
Kami putuskan bahwa kami akan tidur di pos polisi. Sebuah tenda darurat yang menjadi pos polisi. Rupanya Alloh menurunkan hujan yang sangat lebat malam itu, kamipun kemudian hijrah kedalam warung karena tenda tersebut tidak kuasa menahan terpaan angin dan hujan. Didalam warung banyak pendaki nguntel kedinginan. suhu udara makin dingin.
Pagi menjelang... subuh kali ini terasa berbeda. Di kaki gunung kami solat, ah... damainya hati ini. abis sarapan, kamipun berkemas dan memulai pendakian. Di depan pintu gerbang pendakian, aku sejenak melepas pandanganku ke atas, ke puncak gunung lawu yang tertutup kabut tebal, namun masih perkasa dan berwibawa. Lalu kamipun berdoa, tertunduk khusyu’,
Ya Alloh, Engkaulah yang memberi kehidupan. Biarlah jiwaku ini kupasrahkan kepada-Mu, ingin kutumpahkan semuanya kepada-Mu, menyusuri jalan panjang ini. ya Alloh, berilah kami keselamatan.
Disinilah manusia betul betul merasa kerdil, kesombongan pasti runtuh, orang yang berkata bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan akan gentar gemetar, jatuh terserak. Kesadaran pun tumbuh, bahwa memang ternyata adalah Dia diatas segalanya.
Pendakian pun dimulai, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. Sesekali kami tertawa riang, bercanda, sesekali nafas kami tertahan, kemudian mengucap pujian untuk Sang Pencipta, dan bersyukur bahwa kami masih bisa menikmati keindahan alam Nusantara. Jalan cemorosewu yang sudah berbatu sedikit memudahkan kami dalam melangkah. Sesekali pula kami beristirahat dan mengumpulkan tenaga.
Sayang, di pos II salah satu teman kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Fisiknya belum terbiasa akan udara dingin dan tipis. Namun rombongan kami bertambah tiga orang dari solo. kami sekarang berenam melanjutkan perjalanan. Kawan kami terpaksa kami tinggal di pos II.
Jalan yang kami lalui makin menanjak dan curam. Memang jika lewat cemorosewu jalan lebih curam dan terjal dibandingkan dengan lewat cemorokandang yang lebih landai. Namun perjalanan harus diteruskan. Setapak demi setapak. Itulah yang selalu kuulang. Kami kadang berteriak teriak bagai orang gila bersahut sahutan, yang tentu saja tidak bisa kami lakukan di tengah kota.
Meskipun tubuh mulai lelah, nafas mulai terasa berat. Aku tetap melangkah, satu satu. Janganlah engkau lihat terlampau lama jalan yang sangat terjal diatasmu. Lihat saja jalan didepanmu yang hanya selangkah, selangkah, selangkah. Itulah yang membuatku tetap semangat dalam mendaki, dan mungkin juga dalam menjalani hidup. Takkan lari gunung dikejar, namun jika kamu tidak melangkah, kapan kamu akan sampai di puncak?
Sampai di pos 4 hujan mulai turun lagi dengan cukup lebat. Kembali kami merapatkan mantel hujan kami agar badan kami aman dari terpaan air. Alhamdulillah, jalan mulai berubah landai setelah sebelumnya benar benar menguras nafas dan tenaga. Kumandang adzan maghrib yang diteriakkan seorang pendaki menyambut kami di pos lima. Pos tertinggi sebelum puncak. Alhamdulillah. Segera saja kami mencari tempat untuk berteduh. Sebuah warung yang berdiri di pos lima menjadi tujuan aku dan seorang teman. Sedangkan empat orang lainnya mendirikan tenda yang memang hanya muat untuk 4 orang. Didalam warung yang hangat kami kemudian melaksanakan solat maghrib dan isya. Bersujud dan bersyukur diberikan keselamatan sampai di pos 5. Setelah makan malam kami pun terlelap kelelahan...
Aku terkejut mendengar adzan subuh berkumandang di atas gunung. Para pendaki kemudian berdiri bersaf saf menghadap Yang Maha Perkasa. Akupun larut dalam suasana khusyu sholat subuh indah di puncak gunung tersebut. Subhanalloh..
Setelah subuh usai, kami segera bersiap menuju puncak lawu. Mengejar pemandangan matahari terbit. Hadiah terindah bagi setiap pendaki gunung. Barang barang kami tinggal di tenda. Berbekal senter dan air kami kemudian berjalan menuju puncak.
Hari beranjak terang pertanda sang surya makin meninggi. Jalan ternyata cukup landai sehingga memudahkan langkah kaki kami. Pemandangan yang disuguhkan sungguh membuatku berulang kali menahan nafas, dan tek henti hentinya memuji kebesaran-Nya. Betapa tidak, jalan yang kami lalui disampingnya adalah jurang yang dalam, didepan kami ada Jalan setapak yang membelah padang rumput menghampar luas, bunga bunga indah yang masih malu malu untuk mekar, berkas cahaya mentari yang mulai mengintip di balik awan yang menghasilkan baris baris sinar yang sungguh menakjubkan. Ah, alangkah indahnya negriku ini! kupejamkan mata sejenak, dan menghirup dalam dalam udara bumi pertiwi ini...
Akhirnya, akhirnya, alhamdulillah... kami sampai ke puncak lawu. Hargo Dumilah, 3265 Mdpl. Subhanalloh. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak terkira. Seindah inikah alamku yang kalian sia siakan? Bukankah Tuhan telah menitipkan keluarbiasaan ini kepada kita? Betapa anehnya orang yang tidak mencintai tanah ini, yang dititipkan oleh-Mu. Hamparan awan putih yang ada di bawah kaki kami bagaikan permadani, ah, seolah kau bisa berlarian diatasnya. Barisan gunung di pulau jawa yang berjajar rapi, semeru yang terlihat jauh disana, semakin memperkuat posisimu sebagai Ring Of Fire. Belum lagi ngarai ngarai terjal kehijauan, luasnya padang rumput berwarna hijau muda, matahari yang mulai menampakkan dirinya dari balik luasnya gugusan awan putih, dan merah putih, sang dwiwarna yang tegak berkibar di puncak Hargodumilah. Guratan kekuasaan-Mu betul betul kurasakan, dan sungguh aneh orang yang tidak mempercayai keberadaan-Mu!
Puas kami menikmati pemandangan tersebut. Kamipun bergegas turun setelah sebelumnya mampir ke tempat yang katanya pamoksaan Prabu Brawijaya. Kembali ke tenda, mengisi perut. Dan turun dengan ngos ngosan mengejar teman kami di pos II. Meskipun pada akhirnya kami harus terlantar di terminal Tirtonadi karena kehabisan bis, perjalanan ini sungguh luar biasa, what a long journey! Perjalanan ini memberikanku penghayatan lebih mendalam kepada mencintai tanah airku, dan mensyukuri nikmat Tuhanku. Menyadarkanku bahwa Indonesia, bangsaku, sebegimanapun ruwet dan kusutnya, adalah tanah mutiara tempatku dilahirkan. Ia adalah tangis tawaku, putih tulangku, merah darahku, dan indung nasibku. Indonesia, ini aku, akan kuteriakkan namamu, sebagaimana namamu diteriakkan oleh para pendahuluku. Tuhanku, inilah hamba-Mu yang lemah, janganlah engkau lepaskan penjagaan-Mu terhadapku. Dan biarkanlah aku tetap menjadi hamba-Mu yang senantiasa belajar akan arti kehidupan ini, agar aku tidak lagi tersesat dalam jalan-Mu ya Alloh..
Dan akupun tertidur kembali di bus malam jurusan Solo-Semarang.
Bis Solo-Semarang, perjalanan Pulang.
“.....Lestari alamku, lestari desaku, dimana Tuhanku menitipkan aku, nyanyi bocah bocah dikala purnama, nyanyikan pujaan untuk nusa. Damai saudaraku, suburlah bumiku, kuingat ibuku dongengkan cerita, kisah tentang jaya nusantara lama, tentram karta raharja disana....”
Lantunan lagu balada yang diputar oleh sopir bis Solo-Semarang ini meningkahi perjalananku pulang ke Semarang. Seolah bait demi baitnya mengajakku berpikir-setelah semalaman puas terlantar di terminal-bahwa memang tanah ini terlampau indah untuk tidak dicintai, dan terlampau bernilai untuk disia siakan....
Perjalanku kali ini diawali dengan sejuta asa tentang kembali kepada pelukan ibu pertiwi, tentang bagaimana kau kembali mencintai negeri, bagaimana kau kembali merengkuh asa akan negeri ini. maka aku memutuskan untuk bergabung dengan rombongan kecil tapi santai dan berisi 4 orang aneh yang ingin pergi ke gunung Lawu. Menikmati keindahan alam, dan guratan maha Indah dari Sang Pemilik Jagad Raya.
Terlantar di Salatiga |
Tirtonadi, disini kami kemudian bertemu rombongan lain dari Jogja, yang juga ingin mendaki gunung Lawu. Aku pun makin semangat melihat pemuda pemuda cerah yang akan mendaki juga.
Sampailah kami berempat di tawangmangu. Segera saja kami mencari masjid untuk solat Ashar, menghadap Yang Maha Penyayang, yang menitipkan negeri seindah ini pada kami.
Tawangmangu |
Ah, ternyata perutku lapar juga. Seusai solat kami berempat menyusuri pasar tawangmangu, mencari makanan yang bisa menahan garangnya enzim enzim perutku yang mulai memberontak. Ketemulah dengan soto dan nasi kare. Semangkuk soto dibandrol harga Rp 3000 saja, sedangkan kare seharga Rp 3500. Wah, sudah murah, enak! Tandas sudah dua mangkuk nasi kare masuk ke dalam perutku. Hahahaha.
Perjalananpun dilanjutkan menumpang colt diesel. Jalan makin menanjak dengan pemandangan yang sungguh luar biasa, di kanan kiri barisan kebun teh dan pohon cemara berwarna hijau tua. Rumah rumah penduduk yang bersusun susun berjauhan. Sedangkan di atas bukit yang jauh kabut mulai berarak turun, putih bersih, seputih hati penduduk desa yang berkemul dengan sarung di sepanjang jalan.
Maghrib menjelang ketika kami tiba di posko pendakian cemoro sewu, magetan. Suhu dingin mulai menusuk kulit. Angin bertiup cukup kencang. Memaksa kami memakai jaket tebal untuk melawan suhu dingin. Kembali kami terdampar di masjid, singgah dan kembali tunduk dihadapan-Nya.
Benar kata temanku, bahwa di gunung, orang bisa bercerita apapun, tentang dirinya, tentang segala keluh kesahnya. Bahwa manusia, dibawah kegagahan alam, akan merasa kerdil dan kemudian ceritapun mengalir. Sebelum tidur, ada sesi curhat dari temenku. Hehehehehe. Didalam warung yang hangat, ditemani secangkir kopi hitam kami berbicara dan bercerita. Ceritanya tentang apa? Rahasia dong, kekekekekekek.
Kami putuskan bahwa kami akan tidur di pos polisi. Sebuah tenda darurat yang menjadi pos polisi. Rupanya Alloh menurunkan hujan yang sangat lebat malam itu, kamipun kemudian hijrah kedalam warung karena tenda tersebut tidak kuasa menahan terpaan angin dan hujan. Didalam warung banyak pendaki nguntel kedinginan. suhu udara makin dingin.
Pelangi di Pagi Hari |
Pagi menjelang... subuh kali ini terasa berbeda. Di kaki gunung kami solat, ah... damainya hati ini. abis sarapan, kamipun berkemas dan memulai pendakian. Di depan pintu gerbang pendakian, aku sejenak melepas pandanganku ke atas, ke puncak gunung lawu yang tertutup kabut tebal, namun masih perkasa dan berwibawa. Lalu kamipun berdoa, tertunduk khusyu’,
Ya Alloh, Engkaulah yang memberi kehidupan. Biarlah jiwaku ini kupasrahkan kepada-Mu, ingin kutumpahkan semuanya kepada-Mu, menyusuri jalan panjang ini. ya Alloh, berilah kami keselamatan.
Disinilah manusia betul betul merasa kerdil, kesombongan pasti runtuh, orang yang berkata bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan akan gentar gemetar, jatuh terserak. Kesadaran pun tumbuh, bahwa memang ternyata adalah Dia diatas segalanya.
Pendakian pun dimulai, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. Sesekali kami tertawa riang, bercanda, sesekali nafas kami tertahan, kemudian mengucap pujian untuk Sang Pencipta, dan bersyukur bahwa kami masih bisa menikmati keindahan alam Nusantara. Jalan cemorosewu yang sudah berbatu sedikit memudahkan kami dalam melangkah. Sesekali pula kami beristirahat dan mengumpulkan tenaga.
Sayang, di pos II salah satu teman kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Fisiknya belum terbiasa akan udara dingin dan tipis. Namun rombongan kami bertambah tiga orang dari solo. kami sekarang berenam melanjutkan perjalanan. Kawan kami terpaksa kami tinggal di pos II.
Ngaso |
Jalan yang kami lalui makin menanjak dan curam. Memang jika lewat cemorosewu jalan lebih curam dan terjal dibandingkan dengan lewat cemorokandang yang lebih landai. Namun perjalanan harus diteruskan. Setapak demi setapak. Itulah yang selalu kuulang. Kami kadang berteriak teriak bagai orang gila bersahut sahutan, yang tentu saja tidak bisa kami lakukan di tengah kota.
Meskipun tubuh mulai lelah, nafas mulai terasa berat. Aku tetap melangkah, satu satu. Janganlah engkau lihat terlampau lama jalan yang sangat terjal diatasmu. Lihat saja jalan didepanmu yang hanya selangkah, selangkah, selangkah. Itulah yang membuatku tetap semangat dalam mendaki, dan mungkin juga dalam menjalani hidup. Takkan lari gunung dikejar, namun jika kamu tidak melangkah, kapan kamu akan sampai di puncak?
Sampai di pos 4 hujan mulai turun lagi dengan cukup lebat. Kembali kami merapatkan mantel hujan kami agar badan kami aman dari terpaan air. Alhamdulillah, jalan mulai berubah landai setelah sebelumnya benar benar menguras nafas dan tenaga. Kumandang adzan maghrib yang diteriakkan seorang pendaki menyambut kami di pos lima. Pos tertinggi sebelum puncak. Alhamdulillah. Segera saja kami mencari tempat untuk berteduh. Sebuah warung yang berdiri di pos lima menjadi tujuan aku dan seorang teman. Sedangkan empat orang lainnya mendirikan tenda yang memang hanya muat untuk 4 orang. Didalam warung yang hangat kami kemudian melaksanakan solat maghrib dan isya. Bersujud dan bersyukur diberikan keselamatan sampai di pos 5. Setelah makan malam kami pun terlelap kelelahan...
Aku terkejut mendengar adzan subuh berkumandang di atas gunung. Para pendaki kemudian berdiri bersaf saf menghadap Yang Maha Perkasa. Akupun larut dalam suasana khusyu sholat subuh indah di puncak gunung tersebut. Subhanalloh..
Setelah subuh usai, kami segera bersiap menuju puncak lawu. Mengejar pemandangan matahari terbit. Hadiah terindah bagi setiap pendaki gunung. Barang barang kami tinggal di tenda. Berbekal senter dan air kami kemudian berjalan menuju puncak.
Celah Khaibar |
Hari beranjak terang pertanda sang surya makin meninggi. Jalan ternyata cukup landai sehingga memudahkan langkah kaki kami. Pemandangan yang disuguhkan sungguh membuatku berulang kali menahan nafas, dan tek henti hentinya memuji kebesaran-Nya. Betapa tidak, jalan yang kami lalui disampingnya adalah jurang yang dalam, didepan kami ada Jalan setapak yang membelah padang rumput menghampar luas, bunga bunga indah yang masih malu malu untuk mekar, berkas cahaya mentari yang mulai mengintip di balik awan yang menghasilkan baris baris sinar yang sungguh menakjubkan. Ah, alangkah indahnya negriku ini! kupejamkan mata sejenak, dan menghirup dalam dalam udara bumi pertiwi ini...
Padang Rumput |
Akhirnya, akhirnya, alhamdulillah... kami sampai ke puncak lawu. Hargo Dumilah, 3265 Mdpl. Subhanalloh. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak terkira. Seindah inikah alamku yang kalian sia siakan? Bukankah Tuhan telah menitipkan keluarbiasaan ini kepada kita? Betapa anehnya orang yang tidak mencintai tanah ini, yang dititipkan oleh-Mu. Hamparan awan putih yang ada di bawah kaki kami bagaikan permadani, ah, seolah kau bisa berlarian diatasnya. Barisan gunung di pulau jawa yang berjajar rapi, semeru yang terlihat jauh disana, semakin memperkuat posisimu sebagai Ring Of Fire. Belum lagi ngarai ngarai terjal kehijauan, luasnya padang rumput berwarna hijau muda, matahari yang mulai menampakkan dirinya dari balik luasnya gugusan awan putih, dan merah putih, sang dwiwarna yang tegak berkibar di puncak Hargodumilah. Guratan kekuasaan-Mu betul betul kurasakan, dan sungguh aneh orang yang tidak mempercayai keberadaan-Mu!
Puncak |
Puas kami menikmati pemandangan tersebut. Kamipun bergegas turun setelah sebelumnya mampir ke tempat yang katanya pamoksaan Prabu Brawijaya. Kembali ke tenda, mengisi perut. Dan turun dengan ngos ngosan mengejar teman kami di pos II. Meskipun pada akhirnya kami harus terlantar di terminal Tirtonadi karena kehabisan bis, perjalanan ini sungguh luar biasa, what a long journey! Perjalanan ini memberikanku penghayatan lebih mendalam kepada mencintai tanah airku, dan mensyukuri nikmat Tuhanku. Menyadarkanku bahwa Indonesia, bangsaku, sebegimanapun ruwet dan kusutnya, adalah tanah mutiara tempatku dilahirkan. Ia adalah tangis tawaku, putih tulangku, merah darahku, dan indung nasibku. Indonesia, ini aku, akan kuteriakkan namamu, sebagaimana namamu diteriakkan oleh para pendahuluku. Tuhanku, inilah hamba-Mu yang lemah, janganlah engkau lepaskan penjagaan-Mu terhadapku. Dan biarkanlah aku tetap menjadi hamba-Mu yang senantiasa belajar akan arti kehidupan ini, agar aku tidak lagi tersesat dalam jalan-Mu ya Alloh..
Dan akupun tertidur kembali di bus malam jurusan Solo-Semarang.