Matahari sangat garang siang itu. Jam sebelas siang kami
tiba di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah sebelumnya sempat kesulitan
memasuki keraton di hari biasa karena kami menggunakan Bis, rombongan kami
akhirnya bisa masuk setelah membayar uang “administrasi” kepada polisi sebesar
Rp 100.000. wow, cukup fantastis.
Di halaman depan keraton sangat ramai. Banyak siswa SMA
berseragam seperti anak TK (hehehe) yang baru saja selesai berwisata di dalam
keraton. Beberapa Biksu terlihat mondar mandir di halaman keraton, sepertinya
wisatawan juga. Tiket masuk ke dalam keraton cukup murah, hanya Rp 5000 dan
ijin membawa kamera Rp 1000. Teman teman saya dari Jepang terlihat bersemangat
memasuki “Royal Palace”, sebuah monarki nyata di dalam negara demokrasi, yang
mungkin, hanya ada di Indonesia.
|
Gerbang Keraton |
Di gerbang, kami disambut dengan patung abdi dalem dalam
posisi duduk bersila. Beberapa teman sempat terkejut karena patung tersebut
terasa begitu hidup dan nyata. Pintu gerbang kedua yang megah dan sangat unik
menyambut kami. Lambang kebesaran kesultanan Yogyakarta terpahat gamblang di
pucuk gerbang. Wah, indah sekali. Pikir saya..
|
Main Pavilion |
Memasuki gerbang kedua, suasana menjadi lebih sejuk dan
teduh. Pohon pohon sawo kecik membantu kami melawan garangnya matahari. Di
sebelah kanan adalah Main Pavilion, dalam bahasa jawanya, saya tidak tahu,
hehe, mungkin sitihinggil. Dan dipojokan adalah tempat kediaman sultan, sang
raja tanah Jogjakarta.
“disanakah raja tinggal?” tanya Kayo, teman saya.
“ya, raja masih tinggal disini dan mereka (sambil menunjuk
abdi dalem) adalah pelayan raja. Mereka sangat menghormati raja disini.” Terang
Ben, ketua rombongan.
“heeee... sugoooii...” teriakan khas teman teman Jepang saya
kembali terdengar, selanjutnya bisa ditebak, mereka foto foto dengan ramainya.
Hahaha..
|
saya (nyekermen) |
Ah, saya baru sadar, bahwa para abdi dalem dalam keadaan“nyekermen” alias
gak pake sendal. Disini, pasirnya berasal dari pantai parangtritis, waw... saya
ikut mencopot sendal saya, menikmati butiran pasir pantai di kaki saya. Ketika
sedang asyik menikmati teduhnya pohon pohon tersebut, sayup sayup terdengar
suara gamelan jawa. Bagaikan angin, membius kami, dan mendadak bulu kuduk saya
meremang. Sangat anggun, dan terdengar begitu agung namun magis.
|
Para Abdi dalem sedang bermain gamelan |
Auranya seketika berubah. Sulit rasanya menjelaskan aura
ketika suara gamelan khas jawa terdengar. Seakan waktu tiba tiba berhenti. Saya
bersama teman teman segera mencari sumber suara. Rupanya dari sayap kiri
keraton. Kami disuguhkan oleh pemandangan yang langka bagi kami. Para abdi
dalem sedang memainkan gamelan dengan khidmat. Suasana mendadak sunyi... sepi..
kami mengambil gambar dari tepian paviliun. Sayang acara tersebut segera usai,
kami belum puas menikmatinya..
Penyusuran pun dilanjut. Kami memasuki area foto foto
keluarga raja. Disana ada foto dari sejak Sultan pertama hingga Sultan saat
ini, permaisuri, para pangeran, upacara kenegaraan, dan lain sebagainya. Saya betul
betul kagum dengan kesultanan Jogja. mungkin dulu kerajaan ini sangat dihormati oleh negara lainnya..
|
Hadiah dari kekaisaran Jepang |
Kami juga sempat mengunjungi ruangan yang memamerkan benda
benda hadiah dari kerajaan lain di seluruh dunia. Kami sempat menemukan sebuah
hadiah dari kekaisaran Jepang, hadiah khas dari negara timur jauh, Keramik yang
sangat indah...
|
Ukiran di ruang kerja Sri Sultan IX |
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah ruang kerja sultan
Hamengkubuwono IX. Sungguh luar biasa. Ukiran ukiran kayunya diatas langit
langit betul betul membuat saya terpana dan merasakan betapa agung dan besarnya
kesultanan Jogjakarta kala itu. Apalagi belanda juga menghormati kesultanan
Jogjakarta. Namun Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan bijak bergabung dengan Indonesia,
republik yang baru lahir. Sedangkan Soekarno dengan arif juga tetap menjadikan
Raja Jogja sebagai penguasa sah wilayah Jogjakarta. Sebuah sikap yang
menjadikan negeri semajemuk ini bisa bersatu.
Teman teman jepang saya juga belajar sesuatu dari Keraton
ini. bahwa Indonesia, memang unik. Mungkin hanya satu satunya (sejauh kecetekan
pengetahuan saya) di dunia yang seperti ada “Negara dalam Negara”, sultan di
sebuah negara demokrasi. Bahwa selain di jogja masih banyak kerajaan kerajaan
lain yang masih hidup dan memiliki raja hingga saat ini.
|
Abdi dalem (patung) |
Waah... perjalanan kami diakhiri, masih bertelanjang kaki,
saya menyusuri pintu keluar keraton. Memandang sejenak abdi dalem yang menjaga
pintu, mereka sudah sepuh, namun semangat pengabdian terpancar jelas dari
mereka. Menarik nafas dalam dalam, kemudian keluar mencari makan untuk
menenangkan perut yang sudah bergemuruh minta diisi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar